Penanya (Rizka Ummu Rakha di Jakarta):
Suami punya anak perempuan dari istri kedua. Saat ini suami menganggap mereka sudah bercerai karena istri kedua tidak mau bertemu lagi dan tidak diperbolehkan suami menemui anaknya. Pertanyaannya : 1. Apakah dengan keadaan seperti itu sudah dianggap bercerai ? Walaupun suami tidak pernah menjatuhi talak pada istri kedua? 2. Apakah suami tetap wajib memberi nafkah pada anak perempuannya yang masih balita?
Jawaban:
Jika dikatakan apakah sudah jatuh talak dengan kondisi yang disebutkan, penting bagi setiap muslim dan muslimah untuk mempelajari fiqih pernikahan sebelum melangkah ke jenjang pernikahan. Dengan begitu, mereka dapat memahami kapan pernikahan dianggap sah dan kapan pernikahan berakhir, baik dengan khulu’ atau talak yang dijatuhkan oleh suami.
Jika suami tidak pernah menjatuhkan talak, maka ikatan suami-istri masih ada. Jika suami merasa sudah waktunya untuk bercerai, ia harus secara jelas mengucapkan talak, karena hanya anggapan dalam hati tidak dapat membuat perceraian terjadi. Misalnya, jika suami berkata kepada istrinya melalui telepon, “Kalau begitu, aku ceraikan kamu,” maka saat itu jatuhlah talak. Jika tidak, ikatan suami-istri tetap ada, dan suami masih berkewajiban memberi nafkah kepada istrinya. Namun, jika istri bersikap membangkang dan tidak melayani suaminya, suami boleh menahan nafkah karena pelanggaran kewajiban yang dilakukan istri.
Adapun terkait anak, kewajiban seorang ayah untuk menafkahi anaknya tetap ada sampai kapan pun, meskipun ibunya melarang perjumpaan antara ayah dan anak. Inilah yang disukai setan dan iblis, karena perceraian yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat sering kali menimbulkan dampak negatif, seperti ibu yang memutus hubungan antara anak dan ayah atau menanamkan kebencian dalam diri anak terhadap ayahnya.
Bagi seorang ayah, kewajiban menafkahi anak tetap berlaku meskipun anak ikut bersama ibunya, karena tidak ada istilah “mantan ayah” dalam hubungan anak dan orang tua. Mantan istri bisa ada, tapi tidak ada istilah mantan ayah atau mantan anak.
Sebagai istri, hendaknya Anda memberikan dorongan kepada suami untuk tetap menafkahi anak. Jika istri tidak mendukung atau jika akses langsung sulit, nafkah bisa disalurkan melalui orang lain atau, jika perlu, simpanlah nafkah itu untuk anak dalam bentuk tabungan.
Suatu saat, ketika anak sudah cukup dewasa, Anda bisa menunjukkan bahwa nafkah tersebut selalu disediakan meskipun terhalang oleh keadaan, sebagai bukti tanggung jawab seorang ayah. Semoga semua pihak menyadari tanggung jawab masing-masing, karena semua akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah atas apa yang dipimpinnya. Wallahu ‘alam bishawab
Wallahu a’lam.
***
Jawaban dalam bentuk video dapat anda saksikan dengan klik link ini.