Penanya (Hamba Allah di Gresik, Jawa Timur):
Apakah hak istri pertama dan istri kedua (yang dinikahi secara siri) sama?
Dan apa hukumnya jika seorang suami menceritakan semua konflik, kekurangan, dan hal-hal yang membuatnya tidak suka dari istri pertama kepada istri keduanya (istri siri)?
Jawaban:
Jika kita membahas tentang hak istri, Allah Azza wa Jalla memang membolehkan seorang lelaki untuk menikah lebih dari satu. Ini adalah hak suami, namun ada yang memilih mengambil hak tersebut dan ada pula yang tidak. Jadi, ketika seorang suami berniat menikah lagi, baik istri kedua, ketiga, atau keempat, ia sebenarnya tidak memerlukan izin dari istri pertama, asalkan suami yakin mampu berlaku adil. Allah berfirman, “Fain khiftum alla ta’dilu, fawahidatan.” Jika suami khawatir tidak mampu berlaku adil, maka cukup satu istri.
Lalu, apakah hak istri pertama dan istri kedua sama? Dalam hak sebagai istri, keduanya memiliki hak yang sama, meskipun istri pertama telah lebih lama menikah. Misalnya, istri pertama sudah hidup bersama suami selama 10 tahun. Namun, waktu kebersamaan itu tidak dibagi; ketika suami menikah lagi, istri kedua memiliki hak yang sama sebagai istri, termasuk hak mabit (giliran malam) secara adil. Hal-hal yang tidak dapat disamakan di antaranya adalah rasa cinta, karena cinta sulit untuk dibagi secara setara.
Dalam hal nafkah, ada pengecualian karena nafkah tergantung pada kebutuhan masing-masing. Misalnya, istri pertama yang memiliki anak akan membutuhkan nafkah lebih banyak daripada istri kedua yang belum memiliki anak. Maka, suami bisa membagi nafkah sesuai kebutuhan tanpa melanggar prinsip keadilan.
Jika ada kesepakatan tertentu, misalnya suami memberi tahu istri kedua bahwa ia hanya bisa mabit pada akhir pekan atau hari tertentu karena alasan pekerjaan atau lainnya, dan istri kedua menerima kesepakatan tersebut, maka suami tidak dianggap zalim. Sebaliknya, jika istri kedua tidak menerima dan ingin keadilan penuh, maka pernikahan tidak perlu dilanjutkan jika kesepakatan tidak bisa tercapai.
Mengenai masalah menceritakan konflik dengan istri pertama kepada istri kedua, ada hal yang perlu diperhatikan. Jika tujuannya untuk mencari solusi atau pemahaman, maka hal ini dibolehkan. Misalnya, suami menjelaskan bahwa ia mungkin tidak bisa datang tepat waktu atau tidak dapat sering bertemu karena ada masalah di rumah. Ini dilakukan agar istri kedua memaklumi keadaan.
Namun, jika hanya sekadar membicarakan keburukan istri pertama, itu bisa menjadi gibah (menggunjing). Sebaiknya, suami tidak membuka aib istri pertama kepada siapapun, termasuk kepada istri kedua. Hal-hal yang terjadi di rumah cukup diselesaikan di rumah tersebut tanpa harus diceritakan secara detail. Misalnya, cukup memberi penjelasan singkat kepada istri kedua bahwa keadaan di rumah sedang kurang baik, tanpa masuk ke dalam rincian yang tidak perlu.
Dengan demikian, suami sebaiknya tidak menceritakan konflik rumah tangga kecuali ada tujuan yang jelas untuk mencari solusi, bukan untuk memperburuk situasi.
Wallahu a’lam.
***
Jawaban dalam bentuk video dapat anda saksikan dengan klik link ini.