Haruskah Saya Jujur Tentang Masa Lalu kepada Keluarga Calon Suami?

Penanya (Ilma Mila di Jawa Timur) : Dulu saya pernah mencuri uang, dan sekarang saya menyesal serta telah bertaubat. Namun, keluarga calon suami saya mengetahuinya secara samar-samar. Apakah saya harus jujur kepada keluarga calon suami? Saya pernah mendengar kajian yang menyatakan bahwa berbohong untuk menutupi aib masa lalu adalah hal yang diperbolehkan. Bagaimana pandangannya, Ustadz?   Jawaban : Jama’ah yang dirahmati Allah, alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Di antara yang dibahas oleh para ulama terkait dengan aib, ada yang perlu dijelaskan ketika berada dalam masa khitbah, misalnya pada saat pinangan. Setiap manusia pasti memiliki kekurangan, karena tidak ada manusia yang sempurna. Namun, kekurangan-kekurangan tersebut ada yang bersifat manusiawi dan ada yang dianggap sebagai aib, baik yang terkait dengan kondisi fisik maupun akhlak. Adapun aib yang terkait dengan fisik, para ulama menyebutkan bahwa hal tersebut harus dijelaskan jika aib tersebut menghalangi seseorang untuk bisa menjalankan hubungan layaknya suami istri. Sebagaimana kita tahu, salah satu tujuan pernikahan adalah berketurunan, serta adanya hubungan biologis antara suami dan istri. Apabila ada aib yang terkait dengan hal ini, maka wajib untuk dijelaskan. Adapun penyakit lainnya, perlu dilihat apakah penyakit tersebut bisa disembuhkan atau tidak. Jika penyakit tersebut sulit untuk disembuhkan, maka sebaiknya hal itu juga diberitahukan. Sedangkan penyakit yang ringan dan mudah disembuhkan, biasanya tidak termasuk dalam pembahasan aib yang harus diberitahukan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam juga mengajarkan kita dzikir-dzikir yang bisa kita baca agar terhindar dari kesedihan, baik kesedihan masa lalu yang muncul ketika kita mengingat kejadian yang membuat sedih, kesedihan yang berkaitan dengan masa depan yang kita bayangkan akan terjadi, maupun kesedihan yang terjadi saat ini. Semua ini telah diajarkan oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam melalui berbagai dzikir, seperti yang disebutkan dalam hadits yang shahih. Salah satu dzikir tersebut adalah: Laa ilaaha illallahul ‘aziimul haliim, yang artinya “Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, Yang Maha Agung dan Maha Penyantun.” Dzikir lainnya adalah Allahu Allahu Rabbi laa usyriku bihi syai’a, yang artinya “Allah, Allah adalah Tuhanku, aku tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.” Nabi Yunus Alaihissalam juga berdoa saat berada di dalam perut ikan paus: Laa ilaaha illaa anta subhaanaka inni kuntu minazhzhaalimiin, yang artinya “Tiada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sungguh aku termasuk orang yang zalim.” Doa-doa lainnya juga diajarkan oleh Nabi Adam dan nabi-nabi lainnya. Kita tidak pantas terlalu bersedih karena urusan dunia, karena Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman. Jika ia mendapat nikmat, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia mendapat musibah, ia bersabar, dan itu pun baik baginya.” Seorang muslim mendapatkan pahala jika ia bersabar, dan juga mendapatkan pahala jika ia bersyukur. Jika kita menerapkan kiat-kiat ini, membaca doa-doa tersebut, serta memperbanyak dzikir di pagi hari, sebelum tidur, dan saat bangun tidur, insyaAllah kesedihan kita akan hilang. Selain itu, kita juga perlu memperbaiki shalat, hubungan dengan orang tua, dan terus mendekatkan diri kepada Allah. Semua ini akan menjadi sebab kebahagiaan kita. Demikianlah, wallahu ta’ala a’lam. *** Jawaban dalam bentuk video dapat anda saksikan dengan klik link ini.

Sikap yang Tepat dalam Menikahkan Anak Saat Ayah Biologis Tidak Bisa Menjadi Wali Nikah

Pananya (Wiwin Dwi Wahyuningsih di Jawa Timur) : Menceritakan aib dilarang dalam Islam. Namun, bagaimana sikap seseorang yang akan menikahkan anak perempuannya, sementara ayah biologisnya tidak boleh menjadi wali nikah? Mohon nasihatnya ustadz Jawaban : Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai masalah anak hasil perzinaan, apakah ia dinasabkan kepada ayah biologisnya atau tidak. Mayoritas ulama berpendapat bahwa anak tersebut tidak boleh dinasabkan kepada ayah biologis. Namun, ada sebagian ulama yang berpendapat berbeda, dan pandangan ini telah ada sejak zaman salaf. Mereka mengatakan bahwa ayah biologis boleh menasabkan anaknya kepada dirinya dengan beberapa syarat. Syarat pertama, ketika perzinaan terjadi, perempuan tersebut tidak berada di bawah ikatan pernikahan dengan suami lain. Syarat kedua, ayah biologis mengakui anak tersebut sebagai anaknya. Jika kedua syarat ini terpenuhi, menurut sebagian ulama, diperbolehkan menasabkan anak tersebut kepada ayah biologisnya. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ta’ala, dan juga didukung oleh murid beliau, Ibnul Qayyim rahimahullah ta’ala, serta dipilih oleh Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin rahimahullah. Saya pribadi lebih condong kepada pendapat ini, karena terdapat banyak dalil yang mendukungnya. Oleh karena itu, jika kita memilih pendapat ini, tidak perlu menyampaikan masalah ini kepada calon suami. Berbeda halnya jika kita mengikuti pendapat mayoritas ulama yang mengatakan tidak boleh menasabkan anak hasil zina kepada ayah biologisnya. Jika kita mengikuti pendapat mayoritas tersebut, maka masalah ini harus disampaikan kepada calon suami, dan yang menikahkan bukan ayah biologisnya, melainkan wali hakim. Namun, jika kita memilih pendapat sebagian ulama yang membolehkan menasabkan anak kepada ayah biologis, maka tidak perlu menyampaikan hal ini kepada calon mempelai laki-laki, dan ayah biologisnya boleh menjadi wali langsung dalam pernikahan tersebut. Demikianlah, wallahu ta’ala a’lam. *** Jawaban dalam bentuk video dapat anda saksikan dengan klik link ini.

Hukuman Zina Bagi Orang Yang Sudah Berkeluarga

Penanya (Fitria Ummu Andre di Bengkulu) : “Suami saya berzina dan dia mengatakan bahwa dirinya sudah bertobat. Apa yang sebaiknya saya lakukan? Selama 16 tahun pernikahan kami, sebenarnya tidak pernah terjadi kedzaliman. Suami saya selalu bertanggung jawab dalam urusan dunia dengan baik. Namun, suami saya adalah tipe orang yang sangat logis, sehingga sulit bagi saya untuk mengajaknya lebih mendekatkan diri kepada Allah. Mohon nasihatnya, Ustadz. Jazakumullah khairan.” Jawaban : Bismillah, tentu saja terkait perbuatan zina ini harus ada bukti yang kuat. Jika memang dia mengakui dan sudah bertobat, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima tobatnya. Perlu diketahui bahwa pelaku zina yang sudah menikah dan sudah berhubungan badan dengan istrinya yang sah, hukumannya sangat berat, yaitu hukum rajam. Pelaku akan digali tanah, kemudian dilempari batu hingga meninggal. Batunya tidak boleh terlalu besar sehingga menyebabkan kematian langsung, namun juga tidak boleh terlalu kecil sehingga proses kematian menjadi terlalu lama dan menyakitkan. Ini adalah hukuman bagi pelaku zina yang sudah menikah dan berhubungan dengan istri yang sah. Hukuman ini sangat berat dan berbahaya. Namun, penerapannya harus dilakukan oleh pemerintah, bukan individu atau perorangan. Jika dia benar-benar sudah bertobat, semoga Allah menerima tobatnya. Zina adalah dosa yang sangat besar, dan dia harus benar-benar berhati-hati agar tidak terjatuh kembali ke dalam perbuatan tersebut. Sebagai istri, perlu introspeksi juga, karena mungkin ada kekurangan dalam melayani suami, seperti kurang berhias atau tidak selalu siap ketika suami membutuhkan. Seorang suami yang normal tentu memiliki kebutuhan fisik yang sering. Oleh karena itu, istri perlu memahami hal ini. Jika memang satu istri tidak cukup, dan suami mampu, maka dia diperbolehkan menikah lagi hingga empat istri, daripada jatuh ke dalam perbuatan zina. Poligami adalah solusi yang lebih baik jika memang suami mampu dan bertanggung jawab. Dari pertanyaan ini, suami disebutkan bertanggung jawab dalam urusan dunia, yang menunjukkan ada sisi kebaikan dalam dirinya. Sebagai istri, penting untuk terus mendoakannya, memutar kajian-kajian di rumah, meskipun suami tidak mendengarkan langsung. Setidaknya, televisi atau media lain bisa memutarkan Al-Qur’an atau nasihat dari para ustadz. Istri juga perlu menunjukkan rasa cinta kepada suaminya, misalnya dengan bangun tengah malam untuk mendoakan suami atau mengajaknya salat malam, meskipun hanya satu rakaat. Terus ajak suami ke masjid, karena salat adalah ibadah yang mencegah perbuatan keji dan mungkar. Semoga suami bisa menjaga salatnya dan ibadahnya, serta semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni dosa besarnya. Akhirnya, semoga rumah tangga mereka menjadi semakin baik, semakin langgeng. Istri juga perlu introspeksi agar tidak kurang dalam melayani suami, sehingga suami tidak mencari di luar. Barakallah fikum, semoga nasihat ini bermanfaat. *** Anda dapat menyaksikan dalam bentuk video dengan klik link ini.

Poligami dalam Islam Adakah Dasar dari Al-Qur’an dan Hadits?

Penanya (Ummu Reva di Tuban, Jawa Timur) : “Suami saya ketahuan pergi dengan perempuan lain. Ketika saya tanya apa tujuannya, dia menjawab ingin menikah dengannya. Tentu saja saya marah, karena saya melihat suami belum mampu. Kemudian, Allah membukakan mata hati suami saya, dan akhirnya dia memutuskan hubungan dengan perempuan tersebut. Setelah semuanya tenang, saya meminta suami untuk jujur tentang apa yang sebenarnya terjadi. Suami saya berkata bahwa, menurutnya, normal bagi laki-laki memiliki lebih dari satu istri. Apakah ada hadis atau ayat Al-Qur’an yang menerangkan hal tersebut, Ustadz?” Jawaban : Pertama, fitrah manusia, khususnya laki-laki, memang dihiasi dengan syahwat. Allah berfirman QS. Ali Imran ayat 14 bahwa manusia itu dihiasi cinta kepada syahwat, salah satunya adalah kecintaan kepada wanita. Maka, wajar jika seorang laki-laki memiliki ketertarikan kepada wanita. Ketika seorang istri bertanya kepada suaminya apakah ia ingin menikah lagi, dan suami menjawab ‘tidak, aku cukup denganmu,’ bisa jadi itu bukan jawaban yang jujur. Sebetulnya, setiap laki-laki yang ditawari untuk menikah lagi mungkin akan tertarik, meskipun ada yang memutuskan untuk menikah lagi, dan ada yang tidak. Ada yang berani melakukannya, dan ada juga yang tidak. Mungkin ada juga yang sebenarnya berani, namun memilih untuk tidak melakukannya. Jika ditanya apakah laki-laki ingin menikah lagi, kemungkinan besar jawabannya adalah ‘iya.’ Di sisi lain, wanita secara fitrah tidak suka dimadu, dan ini wajar. Pada umumnya, wanita tidak akan ridha jika suaminya menikah lagi, sehingga tidak perlu ditanyakan apakah seorang wanita senang atau tidak jika dimadu, karena jawabannya hampir pasti ‘tidak.’ “dapun laki-laki yang menikah untuk kedua, ketiga, atau bahkan keempat kalinya, itu adalah sesuatu yang wajar dan sesuai dengan fitrah laki-laki. Syahwat laki-laki umumnya lebih besar daripada syahwat wanita, sehingga ada sebagian laki-laki yang merasa membutuhkan lebih dari satu istri. Ini adalah sesuatu yang Allah tanamkan dalam fitrah laki-laki. Jika ditanya apakah hal tersebut wajar, jawabannya adalah ‘ya,’ karena itu bukan sesuatu yang bertentangan dengan syariat. Namun, ketika seseorang ingin menikah lagi, ia harus mempertimbangkan maslahat dan mudaratnya. Seorang laki-laki harus mampu mengkomunikasikan hal ini dengan baik kepada pasangannya, agar tercipta maslahat yang diinginkan dari pernikahan tersebut. Wallahu ta’ala a’lam. *** Jawaban berupa video dapat anda saksikan dengan klik link ini.