Sikap yang Tepat dalam Menikahkan Anak Saat Ayah Biologis Tidak Bisa Menjadi Wali Nikah

Pananya (Wiwin Dwi Wahyuningsih di Jawa Timur) : Menceritakan aib dilarang dalam Islam. Namun, bagaimana sikap seseorang yang akan menikahkan anak perempuannya, sementara ayah biologisnya tidak boleh menjadi wali nikah? Mohon nasihatnya ustadz Jawaban : Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai masalah anak hasil perzinaan, apakah ia dinasabkan kepada ayah biologisnya atau tidak. Mayoritas ulama berpendapat bahwa anak tersebut tidak boleh dinasabkan kepada ayah biologis. Namun, ada sebagian ulama yang berpendapat berbeda, dan pandangan ini telah ada sejak zaman salaf. Mereka mengatakan bahwa ayah biologis boleh menasabkan anaknya kepada dirinya dengan beberapa syarat. Syarat pertama, ketika perzinaan terjadi, perempuan tersebut tidak berada di bawah ikatan pernikahan dengan suami lain. Syarat kedua, ayah biologis mengakui anak tersebut sebagai anaknya. Jika kedua syarat ini terpenuhi, menurut sebagian ulama, diperbolehkan menasabkan anak tersebut kepada ayah biologisnya. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ta’ala, dan juga didukung oleh murid beliau, Ibnul Qayyim rahimahullah ta’ala, serta dipilih oleh Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin rahimahullah. Saya pribadi lebih condong kepada pendapat ini, karena terdapat banyak dalil yang mendukungnya. Oleh karena itu, jika kita memilih pendapat ini, tidak perlu menyampaikan masalah ini kepada calon suami. Berbeda halnya jika kita mengikuti pendapat mayoritas ulama yang mengatakan tidak boleh menasabkan anak hasil zina kepada ayah biologisnya. Jika kita mengikuti pendapat mayoritas tersebut, maka masalah ini harus disampaikan kepada calon suami, dan yang menikahkan bukan ayah biologisnya, melainkan wali hakim. Namun, jika kita memilih pendapat sebagian ulama yang membolehkan menasabkan anak kepada ayah biologis, maka tidak perlu menyampaikan hal ini kepada calon mempelai laki-laki, dan ayah biologisnya boleh menjadi wali langsung dalam pernikahan tersebut. Demikianlah, wallahu ta’ala a’lam. *** Jawaban dalam bentuk video dapat anda saksikan dengan klik link ini.

Hukum Jasa Top Up Dompet Virtual

Penanya : Bagaimana Hukum jual jasa top up saldo di e wallet? Sementara kita tidak tau untuk apa saldo itu dipakai? Jawaban : Apa yang dilakukan oleh orang yang menjual jasa top up ketika ada orang yang ingin isi saldo di dompet virtualnya, anda akan mentransfer uang yang dia minta dan atas layanan tersebut, kemudian anda akan mendapatkan fee per transaksi, praktek semacam ini boleh, ini adalah hawalah (jasa transfer) seperti halnya anda mengirim orang, “Tolong antar uang ini kepada si fulan disana” kemudian anda memberikan uang jasa. Maka praktek ini boleh. Sebab anda menyerahkan uang untuk ditransferkan maka penyedia jasa betul – betul memberikan layanan, maka upah yang didapatkan berasa dari layanan yang ia berikan, adapaun saldo digunakan untuk hal haram, maka itu diluar tanggung jawab anda sebagai layanan jasa transfer. *** Dijawab oleh Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A. حفظه الله

Hukum Membakar Mukenan Yang Tidak Terpakai

Penanya : Bagaimana hukum membuang atau membakar mukena yang sudah tidak terpakai? Jawaban : Mukena yang dipakai biasa untuk ibadah, dan tidak layak lagi untuk dipakai, maka mukena ini boleh dibuang atau dibakar. Mukena tidak termasuk barang yang memiliki kehormatan khusus seperti mushaf yang udah usang, atau buku agama yang berisikan ayat Allah dan hadist – hadist nabi. Adapun mukena yang udah usang, maka urusannnya longgar, kita bisa membuangnya atau dijadikan pel, tidak masalah. *** Dijawab oleh Ustadz Anas Burhanudin, M.A. حفظه الله

Hukum Mendengarkan Kajian Dari Media TV

Penanya : Apakah kita akan mendapatkan pahala, apabila kita mendengarkan tausiyah dari TV Jawaban : Itu adalah salah satu cara dalam thalabul ilmi, jadi insyaallah tetap ada pahalanya. Dan semakin seseorang menjaga adabnya dalam mencari ilmu, maka makin banyak manfaat yang akan didapat. *** Dijawab oleh Ustadz Dr. Sofyan Baswedan, M.A. حفظه الله

Hukum Penghasilan Dari Bekerja Yang Seringkali Meninggalkan Sholat Wajib

Gunawan :  “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh Ustadz, izin bertanya. Ustadz izin bertanya, saya seorang pekerja & bekerja sebagai kuli di pasar. Yang jadi pertanyaan saya, banyak dari teman-teman kami yang alhamdulillah semangat sekali dalam bekerja. Namun mereka banyak yang lalai dari perintah sholat apalagi puasa. Bagaimana hukum hasil kerjanya yang diberikan untuk keluarganya Ustadz? Sumbernya halal tapi mereka meninggalkan sholat yang wajib Ustadz.” Ustadz Menjawab : Barakallahu fiik wa atsabakumullah, kepada saudara Gunawan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menambahkan taufik hidayah kepada Anda, keluarga, dan juga seluruh pemirsa dimanapun Anda berada. Penghasilan mereka selama mereka, jasa yang mereka jual, pekerjaan yang mereka lakukan itu halal maka penghasilan mereka halal. Namun tentu mereka berdosa. Tidak berpuasa, dosa. Tidak sholat, maka dosa. Dan memberi teladan yang buruk kepada anak dan istri itupun dosa. Bahkan bisa jadi itu dosa yang lebih besar dibanding sekedar tidak puasa, karena ketika meninggal, tidak puasa selesai dosanya. Tapi ketika ternyata keteladanan negatif itu diberikan dan diikuti oleh anak dan cucu, oleh kerabat, keluarga maka itu dosa yang akan berkepanjangan dan berbuntut. Kenapa? Karena ternyata yang menjadikan anak cucu mereka tidak berpuasa adalah karena mereka meneladani, “bapak dulu ramadhan juga nggak puasa, kakek dulu ramadhan juga nggak puasa”. Akhirnya mereka menjadi turut berbuat dosa mengikuti langkah yang buruk tersebut. Dan tentunya akan menjadi dosa yang berkepanjangan.  مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْء “Siapa pun yang mengerjakan suatu amalan yang buruk, dan kemudian amalan itu ditiru diteladani orang lain, maka dia menanggung dosa amalan tersebut dan dosa semua orang yang meneladaninya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun” (HR. Muslim). Naudzubillah min dzalik. Wallahu ta’ala a’lam. *** Dijawab oleh Ustadz. Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A. حفظه الله

Lebih Baik Mana Mendahulukan Haji atau Umroh?

Penanya : Sinta Pratiwi “Bismillah izin bertanya. Orang tua saya berusia 55 tahun belum daftar haji. Antrian haji sangat panjang. Jika kelak Insya Allah saya ada rezeki apakah lebih baik mendaftarkan haji atau umroh? Apakah boleh mendaftarkan umroh terlebih dahulu? Jazakumullahu khoiron” Ustadz Menjawab :  Wa jazakumullahu khairan dan ini merupakan fenomena yang sering terjadi di tengah kaum muslimin pada saat fenomenanya untuk melaksanakan ibadah haji harus menunggu waktu yang panjang. Sehingga penuh dengan spekulasi apakah umurku akan sampai, bisa berangkat atau tidak. Maka sebenarnya para ulama menyebutkan orang yang menunaikan ibadah haji dan dia mendapatkan kewajiban adalah orang yang mampu, ini yang pertama. Yang kedua, tingkat kemampuan itu akan dinilai pada saat keberangkatan. Pada saat musim haji telah tiba, lalu dia memiliki biaya yang bisa dipersiapkan untuk mempersiapkan kendaraan maupun perbekalan maka dia menjadi wajib untuk melaksanakan ibadah haji. Adapun Haji yang masih lama tidak tahu kapan datangnya, hitungan kasar kita 30 tahun misalkan, tapi apakah itu akan betul-betul kita dapatkan? Taruhlah misalkan karena sudah sepuh, sudah tua, akhirnya bisa dipotong dipercepat menjadi 15 tahun. Tapi itupun masih terlampau lama. Maka para ulama mengatakan kewajiban itu belum diukur dan distandarkan kecuali pada saat datang masa musim haji itu. Kalau seandainya kita sudah siap semua biaya akan tetapi belum mencukupi pada saat keberangkatan karena biayanya naik misalkan. Atau kita sudah siap mencukupi dan harta semua cukup akan tetapi kita masih belum bisa berangkat karena harus antri misalnya, maka kewajiban itu belum berkenaan dengan kita sebagai seorang muslim. Maka ketika kita mampu untuk melaksanakan ibadah lain yang lebih dekat, Wallahua’lam, yang bisa kita kerjakan adalah yang terdekat dan mampu sesegera mungkin. Umroh kalau seandainya kita bisa kerjakan sekarang maka ini yang lebih kita dahulukan sebagaimana umroh pun juga sebagian ulama mengatakan diwajibkan sekalipun sekali seumur hidup setelahnya baru sunnah, ini menurut sebagian para ulama. Artinya pada saat kita mampu untuk melaksanakan umroh sementara haji masih belum tahu kapan terlaksananya, kalau kita tunda bisa jadi haji tidak laksanakan umroh pun tidak terlaksana, maka kita laksanakan yang mungkin. Kemudian siapa tahu justru setelah itu Allah ‘Azza wa Jalla akan mengabulkan do’a-do’a kita pada saat umroh sehingga rezeki semakin mudah untuk mendapatkan sehingga kita bisa semakin mempercepat jarak tunggu kita untuk melaksanakan ibadah haji. Wallahu A’lam Bishawab. *** Dijawab oleh Ustadz. Dr. Emha Hasan Ayatullah, M.A. حفظه الله

Hukum Wanita Umroh Tanpa Mahrom

Penanya :  “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Ustadz ahsanallahuilaikum, afwan izin bertanya. Bagaimana hukumnya wanita umroh tanpa mahram, berdosakah? Karena sekarang belum ada mahram yang bisa menemani, tapi sungguh Ana ingin sekali ke tanah suci selagi ada keluangan rezeki dan masih Allah beri umur (apalagi itu merupakan jihad bagi wanita). Mohon penjelasannya Ustadz. Jazakumullahu khairan wabarakallah fiikum.” Ustadz Menjawab:  Wa iyyakum. Terkait dengan pertanyaan Bolehkah wanita umroh tanpa mahram, ini melihat kepada umroh itu umroh yang pertama ataukah umroh yang berikut-berikutnya. Jika dia adalah umroh yang pertama, maka menurut Mazhab Syafi’i yang meyakini atau mengatakan bahwa umroh pertama itu hukumnya wajib, mereka membolehkan dengan syarat dia berangkat dengan rombongan-rombongan yang bisa menjaga dirinya. Jadi dia disertai dengan rombongan dari wanita-wanita yang baik yang ketika wanita ini bersama dengan orang-orang tersebut dia bisa menjaga diri. Alasannya karena umroh yang pertama ini hukumnya wajib dan umroh itu mengandung ritual berupa mengunjungi Masjid yang merupakan masjid paling besar. Sedangkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengatakan dalam hadis riwayat Muslim  تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ “Kalian janganlah melarang kaum wanita untuk mengunjungi masjid-masjid Allah“ Ketika seorang wanita itu dilarang untuk berangkat ke masjid, dilarang untuk umroh, berarti dia otomatis dilarang untuk mendatangi masjid yang paling besar yaitu Masjidil Haram. Itu alasan Al Imam Syafi’i rahimahullahu ta’ala. Akan tetapi menurut mazhab yang lain, seperti madzhab Hambali, mereka tetap mempersyaratkan adanya mahram. Sehingga ketika tidak ada atau belum ada mahram, maka perintah itu pun menjadi gugur, perintah wajibnya umroh. Walaupun mazhab Hambali juga sependapat dengan mazhab Syafi’i tentang wajibnya umroh yang pertama akan tetapi mereka mempersyaratkan adanya mahram, berbeda dengan Mazhab Syafi’i yang tidak mempersyaratkan adanya mahram namun mempersyaratkan adanya rifqoh aminah atau rombongan yang yang bisa menjaga keamanannya. Dan saya pribadi lebih menganjurkan agar para wanita ini bersabar mengingat banyaknya fitnah dan kendala yang mungkin terjadi di lapangan. Ketika dia tidak dibarengi oleh mahramnya dia jatuh sakit maka dia akan kesulitan untuk bisa mendapatkan perawatan tanpa harus bersentuhan dengan lawan jenis. Demikian juga ketika mungkin dia tersesat  atau menghadapi kendala-kendala, mungkin juga akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan karena tidak ada yang menjaga dia dari dari mahramnya. Oleh karena itu saya menganjurkan agar orang-orang seperti ini, apalagi kalau umurnya bukan umroh yang pertama, maka jelas tidak terlalu urgent baginya untuk bisa berangkat ke tanah suci. Oleh karena itu lebih baik dia menunggu sampai Allah memudahkan baginya untuk berangkat bersama mahramnya. Wallahu ta’ala a’lam. *** Dijawab oleh Ustadz. Dr. Sofyan Baswedan, M.A. حفظه الله

Kiat Mencarikan Jodoh Untuk Anak

Penanya : Hamba Allah (Pekalongan) “Assalamualaikum Ustadz, mohon izin bertanya. Anak-anak saya Alhamdulillah sudah dewasa. Ingin saya melihat anak-anak menikah. Alhamdulillah mereka tidak ikut-ikutan pacaran. Tetapi kalau saya carikan jodoh mereka tidak mau, kalau pilih sendiri bingung Katanya. Bagaimana ya ustadz cara mereka ketemu jodohnya? Sebelumnya Jazakallahu khairan atas nasihat dari Ustadz.” Ustadz Menjawab :  Barakallahu fiik. Cara mereka menemukan jodohnya ya bisa dengan berdo’a, minta kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar diberikan jodoh yang sesuai, yang sholeh atau sholehah. Bisa juga dengan menitipkan kepada relasi kita, teman-teman kita, untuk mencarikan jodoh buat anak-anak kita. Atau orang tuanya sebetulnya juga bisa mencarikan jodoh buat anaknya. Adapun mereka tidak mau itu adalah sesuatu yang tidak tepat alasannya. Karena sekedar mencarikan itu tidak berarti memaksakan Si Fulan itu sebagai jodohnya dia. Namun sekedar mencarikan. Kalau memaksakan itu memang berbeda hukumnya ya. Akan tetapi kalau sekedar mencarikan harusnya tidak perlu dipermasalahkan di sini. Jadi minta saja kepada Allah, minta, do’a dalam bahasa yang bisa kita susun, dalam bahasa Indonesia juga enggak ada masalah, agar Allah memberikan jodoh yang sholeh yang sholehah dalam waktu yang dekat. Atau minta tolong kepada orang-orang yang kita kenal untuk mencarikan jodoh. Wallahu A’lam. *** Dijawab oleh Ustadz Dr. Sofyan Baswedan, M.A. حفظه الله

Bolehkah Seorang Anak (Mualaf) Berdoa & Sedekah Untuk Orang Tuanya (Non-Muslim) Yang Sudah Meninggal?

Penanya : Fendisullian (Bengkulu) “Bolehkah seorang anak yang mualaf mendoakan dan bersedekah untuk kedua orang tua yang sudah meninggal, yang notabene non muslim”. Ustadz Menjawab : kalau mendoakan untuk orang tua non muslim yang sudah meninggal dunia maka tidak ada yang bisa dilakukannya. tidak boleh seorang anak mendoakan ampunan bagi orang tua yang kafir yang meninggal dunia. Dalam sebuah ayat Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ “Tidak pantas dan tidak boleh bagi seorang Nabi dan juga orang-orang yang beriman untuk memohonkan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrikin, msekipun mereka adalah keluarga sendiri, jika sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya keluarga tersebut adalah penduduk neraka jahanam”. (QS. At-Taubah/9: 113) Maksudnya adalah jelas-jelas kekufurannya maka tidak boleh seorang memohonkan ampun atau memohonkan rahmat. Tapi kalau orang tua masih dalam keadaan hidup, ada sesuatu yang boleh kita ucapkan, kita do’akan dia dengan kebaikan tersebut yaitu dido’akan dengan hidayah. Maka ini tidak masalah, kalau memohonkan ampun maka ini tidak diperbolehkan. Bersedekah juga tidak ada manfaatnya apabila orang tua meninggal dalam keadaan kufur. Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak akan merima sedekah tersebu. Dalam Alquran ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan orang-orang munafik وَمَا مَنَعَهُمْ أَن تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَـٰتُهُمْ إِلَّآ أَنَّهُمْ كَفَرُوا۟ بِٱللَّهِ وَبِرَسُولِهِۦ “Tiidaklah mencegah Allah untuk menerima shodaqoh-shodaqoh mereka kecuali karena mereka kufur kepada Allah dan Rasul-Nya..” [QS. At-Taubah (9) ayat 54]. Jadi kalau sudah meninggal dunia orang kafir tersebut ya sudah, tidak ada yang bisa kita lakukan. Bersedekah untuknya tidak diterima oleh Allah, mendo’akan dengan ampunan juga tidak diperbolehkan. Wallahu ta’ala a’lam. *** Dijawab oleh Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A. حفظه الله

Hukum Berhaji Dengan Dana Pensiun

Penanya : Saudari Taufani di Banten, di kota Tangerang Selatan Tahun 2010 saya resign dari pekerjaan, di mana saya mendapatkan uang Jamsostek. Gaji dipotong untuk jaminan pensiun, kemudian uang tersebut saya setorkan untuk Haji reguler suami istri. Apakah haji saya sah? Pada saat itu saya belum mengenal sunnah. Saya takut haji saya tidak diterima Allah ‘azza wa jalla. Ustadz Menjawab : Baik barakallahu fiik wa atsabakumullah kepada Saudari Taufani atas kebersamaannya. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menambahkan taufik hidayah kepada Anda dan juga seluruh pemirsa fatwa TV di manapun Anda berada. Uang Jamsostek yang mekanismenya sebagiannya dipotongkan dari gaji karyawan dan selebihnya ditanggung oleh kantor atau instansi maka secara hukum itu halal. Sehingga Boleh Anda gunakan untuk apapun dari kepulauan Anda, termasuk untuk membayar setoran biaya keberangkatan ibadah haji Anda ataupun umroh Anda. Karena Jamsostek itu sejatinya adalah pemberian dari perusahaan ataupun dari instansi anda karena gaji itu tidak pernah Anda terima. Potongan itu tidak pernah diserahkan kepada anda, itu betul-betul dari kantor kemudian langsung disetorkan ke BPJS. Sehingga sebagai karyawan, sebagai PNS, Anda hanya menerima, tanpa tahu menahu dan tanpa pernah menerima iuran tersebut tanpa pernah sampai ke tangan Anda. Yang terjadi itu hanya laporan-laporan secara administratif saja bahwa gaji anda dipotong sekian rupiah atau sekian persen. Tapi faktanya uang tersebut dari kantor anda langsung ditransfer kan ke BPJS. Sehingga yang sebetulnya yang terjadi itu hanya sekedar proses administrasi yang mengesankan bahwa Anda memiliki gaji sekian rupa yang dipotong, tetapi faktanya, kenyataannya, uang itu langsung dibayarkan dari kantor Anda ke kantor BPJS. sehingga sejatinya itu adalah pemberian dari lembaga Anda atau perusahaan anda sebagai apresiasi atas pengabdian dan kinerja Anda selama berstatus sebagai karyawan mereka ataupun sebagai PNS. Wallahu ta’ala a’lam. *** Dijawab oleh Ustadz. Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A. حفظه الله